Hari Pendidikan Nasional 2 Mei: Bagaimana Sejarahnya

 


Ki Hadjar sendiri lahir di Pura Paku Alam, Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Nama aslinya adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat.

Sepanjang hidupnya Ia dikenal sebagai sosok yang kritis terhadap kebijakan pemerintah kolonial Belanda, khususnya di bidang pendidikan. Ki Hadjar Dewantara menentang kebijakan pemerintah Belanda yang kala itu hanya membolehkan anak-anak keturunan Belanda dan kaum priyayi untuk mengenyam pendidikan sekolah.

Anak-anak pribumi saat itu tidak mendapatkan akses kepada pendidikan sekolah. Hal inilah yang membuat Ki Hadjar menentang pemerintah Hindia Belanda.

Karena sikap kritisnya, Ia bersama dengan 2 rekannya yakni Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo diasingkan ke Belanda. Ketiga tokoh inilah yang dikenal sebagai "Tiga Serangkai".

Sepulang dari Belanda, Ki Hadjar Dewantara pun mendidikan lembaga pendidikan bernama Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Mengutip buku Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya oleh Museum Kebangkitan Nasional Kemdikbud, sejak saat itu pula lahirlah gagasan yang sangat terkenal yakni,

Ing ngarsa sung tulada: di muka memberi contoh
Ing madya mangun karsa: di tengah membangun cita-cita
Tut wuri handayani: mengikuti dan mendukungnya
Ki Hadjar Dewantara pun wafat pada tanggal 26 April 1959. Untuk menghormati jasa-jasanya dalam dunia pendidikan, pemerintah Indonesia kemudian menetapkan tanggal kelahirannya sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Melansir buku Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya oleh Museum Kebangkitan Nasional Kemdikbud, sosok Ki Hadjar Dewantara merupakan tokoh pendidikan yang sangat fenomenal.

Ia lahir dari keluarga bangsawan Paku Alam Yogyakarta. Ayahnya bernama Kanjeng Pangeran Adipati Ario Suryaningrat merupakan putra sulung Sri Paku Alam III.

Sebagai putra bangsawan, ia bisa mengenyam pendidikan ELS (Europeesche Lagere School). Selanjutnya ia melanjutkan pendidikan ke STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen) atau biasa disebut Sekolah Dokter Jawa.

Sayangnya, karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan, ia pun tidak tamat dari sekolah ini.

Gagal menjadi dokter, Ki Hadjar pun mengawali karir sebagai jurnalis. Ia menulis di banyak surat kabar dan majalah pada waktu itu seperti Sediotoomo, Midden Jawa, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara.

Melalui tulisan-tulisannya inilah Ki Hadjar Dewantara banyak melontarkan kritikan-kritikan seputar sosial, politik, dan pendidikan kaum bumiputra kepada penjajah.

Hal itulah yang membuatnya diasingkan ke Belanda. Selama masa pengasingan, ia pun tetap aktif menulis bahkan sering tenaganya dipinjam untuk menulis di koran/mingguan Belanda.

Sekembalinya ke Tanah Air, profesi jurnalistik pun ditinggalkan. Ia kemudian memilih berkecimpung di bidang pendidikan dengan mendirikan Pergerakan Pendidikan Taman Siswa (Nationaal Onderwijs Taman Siswa).

Setelah Indonesia merdeka, Ia pun diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1950. Atas jasa-jasanya, ia juga mendapatkan banyak penghargaan seperti gelar doktor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada (1959) dan diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada tahun 1959.

Ki Hadjar Dewantara wafat pada 26 April 1959. Ia dimakamkan di pemakaman keluarga Taman Siswa Wijaya Barata, Yogyakarta.


Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama